Sabtu, 09 Januari 2010

PENUMPANGAN TANGAN DALAM PENAHBISAN PENDETA

PENDAHULUAN
Seperti yang sudah kita ketahui bersama, salah satu jabatan gerejawi yang ada adalah pendeta. Untuk menjadi seorang pendeta, dibutuhkan pendidikan khusus yang dapat diperoleh di sekolah-sekolah Teologi. Selain itu, untuk mengemban jabatan pendeta ini dibutuhkan sebuah peneguhan atau pengangkatan bagi orang yang akan menjadi pendeta. Biasanya hal ini kita sebut dengan penahbisan. Dalam liturgi penahbisan pendeta, biasanya hadir pendeta-pendeta senior nya yang akan menumpangkan tangan saat menahbiskan. Penumpangan tangan sering dianggap sebagai simbol pelantikan biasa seorang hamba Tuhan ke dalam jabatan gerejawi yaitu pendeta. Sebenarnya apakah makna dari penumpangan tangan dalam penahbisan pendeta?

PENUMPANGAN TANGAN
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “penumpangan” berarti proses atau cara menumpangan. Sedangkan “menumpangkan” berarti memberikan sesuatu supaya dibawa, menyerahkan sesuatu supaya dijaga, menitipkan, mengamanatkan. Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa penumpangan tangan adalah suatu cara untuk memberikan amanat kepada seseorang dengan menggunakan tangan. Pengertian lain dari penumpangan tangan adalah apabila seseorang meletakkan tangannya atas tubuh orang lain untuk keperluan rohani tertentu .
Alkitab juga menunjukkan beberapa peristiwa penumpangan tangan. Di dalam Perjanjian Lama dapat kita lihat saat Musa menumpangkan tangannya kepada Yosua untuk memberikan kuasa dan hikmat kepadanya sebagai pemimpin baru atas umat Allah. Tuhan memerintahkan agar Musa meletakkan tangannya di atas kepala Yosua. Hal ini berarti Yosua diberikan amanat baru untuk menggantikan Musa dan dengan penumpangan tangan yang dilakukan oleh Musa kuasa Tuhan tercurah atas diri Yosua (Bilangan 27: 15-23). Sama hal nya dengan penahbisan pendeta, penumpangan juga melambangkan pencurahan roh kudus atas orang yang hendak ditahbiskan menjadi pendeta atau pemimpin jemaat melalui perantaraan para pendeta-pendeta lainnya.
Dalam Perjanjian Baru juga disinggung mengenai praktek penumpangan tangan. Penahbisan dan peneguhan diyakini sebagai pencurahan karunia dan kuasa Roh Kudus. Pemahaman ini tercatat dalam Perjanjian Baru Apokrif abad kedua. Kisah Para Rasul 6: 1-7 menceritakan bagaimana tujuh orang dipilih untuk membantu rasul-rasul melayankan meja. Mereka didoakan kemudian rasul-rasul itu meletakkan tangan di atas ketujuh orang itu. Penumpangan tangan juga dilakukan oleh Petrus dan Yohanes. Mereka di utus oleh rasul-rasul untuk mencurahkan Roh Kudus kepada orang-orang Samaria ( Kis 8:17).
Jika kita melihat dari sudut pandang liturgi, penumpangan tangan merupakan salah satu simbol liturgi. Martasudjita dalam bukunya Memahami Simbol-simbol Dalam Liturgi mengatakan bahwa penumpangan tangan termasuk dalam simbol liturgi sentuhan. Menurutnya, manusia juga merupakan simbol liturgi. Dengan menggunakan tubuhnya manusia dapat menyimbolkan sesuatu. Salah satunya tangan dalam penumpangan tangan. Selain mencurahkan roh kudus, penumpangan tangan juga dapat dimaknai penyerahan tugas dan tanggung jawab. Saat ditahbiskan menjadi pendeta, orang yang ditahbiskan itu secara otomatis menerima tugas dan tanggung jawab yang baru sebagai pendeta. Kemudian, untuk menjalankan tugas kependetaannya itu ia membutuhkan berkat dari Tuhan. Berkat itu diberikan melalui perantaraan penumpangan tangan yang dilakukan oleh para pendeta yang hadir. Dengan demikian penumpangan tangan juga berarti pemberian berkat atau penganugerahan berkat kepada pendeta yang baru ditahbiskan.



KESIMPULAN
Penahbisan pendeta selalu disertai dengan penumpangan tangan para pendeta kepada pendeta yang baru ditahbiskan. Hal ini penting dilakukan sebagai simbol pencurahan roh kudus kepada pendeta yang baru ditahbiskan. Dengan penumpangan tangan akan terlihat bahwa pendeta yang baru ditahbiskan itu memang dipilih untuk melayani umat Allah karena tidak semua orang dipilih untuk mengemban jabatan pendeta dan penumpangan tangan juga menjadi lambang pemberkatan kepada pendeta yang baru ditahbiskan untuk melakukan sakramen. Memang yang terpenting dalam penahbisan pendeta adalah kata-kata yang diucapkan sewaktu menahbiskan, akan tetapi bagaimana pun simbol itu penting dalam sebuah liturgi. Dengan adanya simbol-simbol, liturgi akan menjadi lebih hidup dan dapat lebih dihayati. Penumpangan tangan dilakukan juga supaya umat Allah yang menyaksikan penahbisan itu mengerti bahwa pendeta mereka yang baru ditahbiskan benar-benar diberi kuasa, karunia, roh kudus dan tanggung-jawab oleh Allah. Oleh karena itu, penumpangan tangan hendaknya jangan dianggap hal yang tidak penting dalam liturgi penahbisan pendeta.



DAFTAR BACAAN

Martasudjita, E., Memahami Simbol-simbol Dalam LIturgi (Yogyakarta: Kanisius, 1998)
Prince, Derek., Penumpangan Tangan (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 1993)
Rachman, Rasid., Hari Raya Liturgi (Jakarta: Gunung Mulia, 2005)

Jumat, 01 Januari 2010

50 tahun salah paham

Dikisahkan, disebuh gedung pertemuan yang amat megah, seorang pejabat senior istana sedang menyelenggarakan pesta ulang tahun perkawinannya yang ke-50. Peringatan kawin emas itu ramai didatangi oleh tamu-tamu penting seperti para bangsawan, pejabat istana, pedagang besar serta seniman-seniman terpandang dari seluruh pelosok negeri. Bahkan kerabat serta kolega dari kerajaan-kerajaan tetangga juga hadir. Pesta ulang tahun perkawinan pun berlangsung dengan megah dan sangat meriah.
Setelah berbagai macam hiburan ditampilkan, sampailah pada puncak acara, yaitu jamuan makan malam yang sangat mewah. Sebelum menikmati kamuan tersebut, seluruh hadirin mengikuti prosesi penyerahan hidangan istimewa dari sang pejabat istana kepada istri tercinta. Hidangan itu tak lain adalah sepotong ikan emas yang diletakkan di sebuah piring besar yang mahal. Ikan emas itu dimasak langsung oleh koki kerajaan yang sangat terkenal.
“Hadirin sekalian, ikan emas ini bukanlah ikan yang mahal.. Tetapi, inilah ikan kegemaran kami berdua, sejak kami menikah dan masih belum punya apa-apa, sampai kemudian di usia perkawinan kami yang ke-50 serta dengan segala keberhasilan ini. Ikan emas ini tetap menjadi simbol kedekatan, kemesraan, kehangatan, dan cinta kasih kami yang abadi,” kata sang pejabat senior dalam pidato singkatnya.
Lalu, tibalah detik-detik yang istimewa yang mana seluruh hadirin tampak khidmat menyimak prosesi tersebut. Pejabat senior istana mengambil piring, lalu memotong bagian kepala dan ekor ikan emas.
Dengan senyum mesra dan penuh kelembutan, ia berikan piring berisikan potongan kepala dan ekor ikan emas tadi kepada isterinya.
Ketika tangan sang isteri menerima piring itu, serentak hadirin bertepuk tangan dengan meriah sekali. Untuk beberapa saat, mereka tampak ikut terbawa oleh suasana romantis, penuh kebahagiaan, dan mengharukan tersebut.
Namun suasana tiba-tiba jadi hening dan senyap. Samar-samar terdengar isak tangis si isteri pejabat senior. Sesaat kemudian, isak tangis itu meledak dan memecah kesunyian gedung pesta. Para tamu yang ikut tertawa bahagia mendadak jadi diam menunggu apa gerangan yang bakal terjadi. Sang pejabat tampak kikuk dan kebingungan. Lalu ia mendekati isterinya dan bertanya “Mengapa engkau menangis, isteriku?”
Setelah tangisan reda, sang isteri menjelaskan “Suamiku…sudah 50 tahun usia pernikahan kita. Selama itu, aku telah dengan melayani dalam duka dan suka tanpa pernah mengeluh. Demi kasihku kepadamu, aku telah rela selalu makan kepala dan ekor ikan emas selama 50 tahun ini. Tapi sungguh tak kusangka, di hari istimewa ini engkau masih saja memberiku bagian yang sama. Ketahuilah suamiku, itulah bagian yang paling tidak aku sukai.” tutur sang isteri.
Pejabat senior terdiam dan terpana sesaat. Lalu dengan mata berkaca-kaca pula, ia berkata kepada isterinya,” Isteriku yang tercinta…50 tahun yang lalu saat aku masih miskin, kau bersedia menjadi isteriku. Aku sungguh-sungguh bahagia dan sangat mencintaimu. Sejak itu aku bersumpah pada diriku sendiri, bahwa seumur hidup aku akan bekerja keras, membahagiakanmu, membalas cinta kasih dan pengorbananmu. “
Sambil mengusap air matanya, pejabat senior itu melanjutkan, “Demi Tuhan, setiap makan ikan emas, bagian yang paling aku sukai adalah kepala dan ekornya. Tapi sejak kita menikah, aku rela menyantap bagian tubuh ikan emas itu. Semua kulakukan demi sumpahku untuk memberikan yang paling berharga buatmu.”
Sang pejabat terdiam sejenak, lalu ia melanjutkan lagi “Walaupun telah hidup bersama selama 50 tahun dan selalu saling mencintai, ternyata kita tidak cukup saling memahami. Maafkan saya, hingga detik ini belum tahu bagaimana cara membuatmu bahagia.” Akhirnya, sang pejabat memeluk isterinya dengan erat.. Tamu-tamu terhormat pun tersentuh hatinya melihat keharuan tadi dan mereka kemudian bersulang untuk menghormati kedua pasangan tersebut.
Moral cerita diatas:
Bisa saja, sepasang suami – isteri saling mencintai dan hidup serumah selama bertahun-tahun lamanya. Tetapi jika di antaranya tidak ada saling keterbukaan dalam komunikasi, maka kemesraan mereka sesungguhnya rawan dengan konflik. Kebiasaan memendam masalah itu cukup riskan karena seperti menyimpan bom waktu dalam keluarga. Kalau perbedaan tetap disimpan sebagai ganjalan dihati, tidak pernah dibiacarakan secara tulus dan terbuka, dan ketidakpuasan terus bermunculan, maka konflik akan semakin tak tertahankan dan akhirnya bisa meledak. Jika keadaan sudah seperti ini, tentulah luka yang ditimbulkan akan semakin dalam dan terasa lebih menyakitkan.
Kita haruslah selalu membangun pola komunikasi yang terbuka dengan dilandasi kasih, kejujuran, kesetiaan, kepercayaan, pengertian dan kebiasaan berpikir positif.
Saat bertemu orang yang pernah salah-paham padamu, gunakan saat tersebut untuk menjelaskannaya. Karena engkau mungkin hanya punya satu kesempatan itu saja untuk menjelaskan.
Oleh: Tidak Diketahui
Sumber : heartnsouls. com